Dzikrul Maut-Sang Petualang

HIDUP DENGAN KESUNGGUHAN,MATI DENGAN KEBAIKAN,,,

Kamis, 08 Maret 2012

Anti Bete Saat Jalanan Macet


Anti Bete Saat Jalanan Macet

Siapa sih yang nggak Bete saat terjebak kemacetan di jalan,Dan itu mungkin kita alami setiap hari saat melintasi jalur Cilegon - Anyer. Tapi tenang.... dengan menyimak tips berikut ini , rasa bete pun bakal hilang
nih dia caranya , yuukk kita simak :
• Hindari melihat antrian,saat terjebak kemacetan sebaiknya tak usah melihat antrian panjang kendaraan lain.sebab , hal itu hanya akan membuat kita terus berfikir ,"kapan kita akan sampai kalau antriannya panjang seperti ini?"akibatnya kita pun jadi makin bete dan stress.
• Menuangkan ide, nah... ide yang terlintas dalam pikiran kita tersebut bisa kita tuangkan.Contohnya setelah melihat aneka gedung berarsitektur indah,kita membuat gambar gedung dengan desain kita sendiri.
• Bersibuk diri dengan ponsel, Manfaatkanlah sebaik mungkin fungsi ponsel kita pada saat terjebak kemacetan.Selain untuk berbicara dan mengirim sms kepada teman ataupun OL liat perkembangan Bisnis Online kita.
• Menghisap permen,kalau di dalam mobil atau tas kita ada permen nggak ada salahnya kita ngisap permen tersebut.Percaya tidak? hal tersebut akan membuat kita lebih santai , enjoy and rilex.
• Membaca, Ada buku atau majalah apa di dalam mobil atau tas kita.dari pada bete saat macet , baca saja buku atau majalah itu, selain gak bete kita pun nambah ilmu..
• Memejamkan mata,Pilihan lainnya kita pejamkan mata. Bayangkan berbagai peristiwa indah yang pernah kita alami , atau renungkan rencana apa yang akan kita lakukan di depan.
• Yakini setiap keadaan tidak ada yang kebetulan,semuanya sudah terencana.

Rabu, 22 Februari 2012

JHON KEI KU SAYANG, JHON KEI KU MALANG...

LUARRRR...dari KEBIASAAN,,, itu yang coba saya ungkapkan ketika mendengar nama "JHON KEI" yang sering disebut belakangan ini baik di TV ataupun media lain,,menarik untuk dijadikan sebagai bahan penambah wawasan dan kebijaksanaan dalam menghadapi kehidupan yang semakin komplek dan "ngejelimet" ini,,sehingga KITA tidak salah dalam menentukan langkah,,,Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.(TQS. Al Baqarah : 216)

semoga kita dipantaskan dalam menerima segala amanah yang Allah Berikan,,,ALLAHU AKBAR...................
KOMPAS.com — Pahit dan manis kehidupan tampaknya sudah dialami John Kei (42). Sejak usia belia, John memutuskan keluar dari tanah kelahirannya di Tutrean, Pulau Kei, Maluku, menuju ke Surabaya pada tahun 1986. Setahun kemudian, John datang ke Ibu Kota dan mulai memperkenalkan diri sebagai John Kei kendati nama aslinya adalah John Refra.

John yang sifatnya cuek ini tak malu harus hidup di kolong jembatan saat di Surabaya. Di saat itu, John mulai harus berjuang sendiri untuk hidup. Kehidupan keras anak jalanan ditempuhnya. Dengan watak yang juga keras, John pun mampu bertahan.

Pindah ke Jakarta, keahlian John dalam bergaul dan memberikan pengaruh juga akhirnya berdampak dengan lingkungan barunya di kawasan Berlan, Jakarta Pusat. John kemudian tumbuh sebagai seorang "yang dituakan". Ia pula dipercaya sebagai Ketua Angkatan Muda Kei sejak tahun 1998 dan belum pernah digantikan hingga kini.

Sisi hitam

Berawal dari perjuangan seorang diri, John Kei kini justru memiliki belasan ribu pengikut setianya. Ia juga disebut-sebut memiliki bisnis jasa pengamanan, jasa penagihan, jasa konsultan hukum, dan pemilik sasana tinju Putra Kei yang memberikan kemakmuran tersendiri bagi John dan keluarganya. Tetapi, kehidupan John tidak lepas dari catatan kriminalnya yang cukup panjang.

Bahkan, John Kei sempat disandingkan dengan mafia-mafia di Italia dan diberikan gelar "Godfather Jakarta" karena berbisnis layaknya mafia, tetapi jarang tersentuh aparat kepolisian. Dari rangkaian kasus yang dikaitkan dengan dirinya, John baru sekali divonis penjara.

Perseteruan pertama terjadi pada tanggal 2 Maret 2004. Saat itu, massa dari Basri Sangaji dan John Kei bentrok di Diskotek Stadium, Taman Sari, Jakarta Barat. Sebelum peristiwa itu terjadi, John juga sempat diserang oleh massa Basri di Diskotek Zona sehingga membuat tiga jari tangannya kaku dan tak bisa digerakkan hingga kini.

Pada tanggal 12 Oktober 2004, nama John Kei kembali dikaitkan dengan Basri Sangaji. Basri tewas ditembak di bagian dada saat berada di dalam kamar 301 Hotel Kebayoran Inn, Jakarta Selatan. Di dalam kasus ini, John Kei lolos dari jeratan hukum karena tidak terbukti terlibat.

Namun, pada tanggal 11 Agutus 2008, John bersama adiknya, Tito Refra, benar-benar harus hidup di balik bui. Keduanya divonis delapan bulan penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya karena menganiaya dua pemuda, yakni Charles Refra dan Remi Refra, di Maluku. Jari kedua pemuda itu putus akibat penganiayaan tersebut.

John dan Tito akhirnya ditangkap oleh Densus 88 di Desa Ohoijang, Kota Tual, Maluku Tenggara. Saat itu, rencana persidangan akan digelar di Maluku, tetapi karena ada ancaman dari para pendukung John akhirnya sidang digelar di PN Surabaya. Loyalis-loyalis John Kei juga kembali membuat ulah.

Pada 4 April 2010, massa Kei bentrok di klub Blowfish dengan massa Thalib Makarim dari Ende, Flores. Dua anak buah John tewas. Perseteruan antara massa dari Flores dengan loyalis John juga kembali terjadi saat persidangan kasus Blowfish digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 29 September 2010. Pada bentrok yang disertai dengan suara tembakan dan dikenal dengan peristiwa "Ampera Berdarah" itu, dua anggota kelompok John Kei tewas dan seorang sopir Kopaja juga turut menjadi korban. Saat itu, adiknya Tito mendapatkan luka tembak di dada dan nyaris masuk ke jantung. Namun, beruntung, Tito berhasil selamat.

Terakhir, John Kei kembali harus berurusan dengan aparat dalam kasus pembunuhan Tan Harry Tantono alias Ayung (45) di Swiss-Belhotel, Sawah Besar, Jakarta Pusat, pada tanggal 26 Januari 2012 lalu. Ayung tewas bersimbah darah dengan 32 luka tusukan di pinggang, leher, dan perut. John pun diduga menjadi dalang dalam pembunuhan Ayung yang merupakan klien pengguna jasa penagihannya.

Saat ini, kepolisian sedang membuka lagi kasus-kasus lama di mana John Kei lolos dari jerat hukum.

Sisi putih

Adik kandung John Kei, Tito Kei, membantah bahwa kasus-kasus yang disebutkan tadi terkait semua dengan John Kei.

"Terkadang ada adik-adik kita yang buat onar dan bilangnya anak buah John Kei. Padahal, sama sekali tidak disuruh, karena kadang mereka kesal kakak saya diapain, terus mereka tidak terima dan bertindak sendiri," ungkap Tito, Selasa (21/2/2012), dalam perbincangan dengan Kompas.com di Rumah Sakit Polri Soekanto, Jakarta.

Ia mengatakan, meski secara fisik kakaknya terlihat seram dan galak, sebenarnya dia adalah sosok penyayang. "Coba saja yang kenal dekat dia. Pasti akan bilang dia orang paling baik karena dia sangat peduli dengan adik-adik atau orang-orang susah. Orangnya dermawan," tutur Tito.

Contoh kedermawanan John, imbuh Tito, ada dengan pembangunan sebuah gereja dan rumah pastor di kampung halaman mereka di Pulau Kei. John di sana menjadi penasihat pembangunan gereja, sedangkan Tito ketua pelaksananya.

"Kami mulai dari nol. Tukang dan bahan semua kami bawa dari Jawa. Rencananya April 2013 akan pemberkatan gereja," imbuhnya. Gereja itu dibangun selama empat tahun dari tahun 2007 sampai tahun 2011. Dana pembangunan didapat dari pemerintah daerah sebesar Rp 100 juta. "Tapi gereja itu biayanya miliaran, akhirnya kakak saya yang bantu semua," paparnya.

Selain membangun gereja, John juga memutuskan untuk membantu 20 rumah warga di Pulau Kei yang masih beratapkan jerami. Dia juga sempat membantu Umar Kei, keponakan John Kei, dengan memberikan lampu-lampu taman di halaman masjid. "Kalau ada yang bilang John Kei dan Umar Kei itu berseteru, itu tidak benar. Perseteruan itu hal yang biasa, tapi kami bisa rujuk lagi," imbuhnya.

Dengan sifat John Kei yang peduli itu, Tito menjadikan sosok John sebagai idola di dalam keluarga. "Saya tidak mungkin ada di Jakarta ini kalau tanpa bantuan dia," katanya. Tito mengetahui bahwa banyak orang yang mencap kakaknya layaknya seorang gangster. "Itu terserah orang menilai kami bagaimana. Kami tidak bisa halangi," tandasnya.